Peristiwa Isro Mi’raz adalah merupakan
kejadian yang sangat luar biasa dan bentuk cinta Alloh kepada
Rosululloh. Alloh sendirilah yang memperjalankan Nabi Muhammad
SAw.Dalam peristiwa itu, tepatnya 27 Rajab, Nabi Muhammad SAW dapat saja
langsung menuju langit dari Makkah, namun Allah tetap membawanya menuju
Masjidil Aqsha, pusat peribadahan nabi-nabi sebelumnya. Ini dapat
diartikan bahwa b umat Islam tidak memiliki larangan untuk berbuat baik
terhadap sesama manusia, sekalipun kepada golongan di luar Islam. Hal
ini dikarenakan, Islam menghargai peraturan-peraturan sebelum Islam,
seperti halnya khitan yang telah disyariatkan sejak zaman Nabi Ibrahim
AS.
Peristiwa Isro Mi’raj terjadi ketika nabi
sedang dalam kesedihan , dua orang penyokong nabi dalam melakukan
dakwah yaitu Istri nabi siti Khodijah dan pamannya Abu Thalib telah
berpulang kerahmatulloh.
Saat itu ketika nabi
sedang tertidur di dalam masjidil Haram didatangi oleh malaikat Jibriel
dan mikail dibedah dada nabi dan di cuci hatinya dengan air zamzam untuk
menghilangkan sifat-sifat buruk setelah itu hati nabi dimasukan
dengan iman dan hikmah . Ini adalah merupakan pencucian yang kedua
kalinya yang di alami nabi, sebelumnya nabi pernah juga di cuci
hatinya dan diisi dengan Rahmah cinta dan kasih sayang sewaktu nabi di
asuh oleh Halimatus Sya’diyah. Setelah dilakukan pencucian tersebut
Nabi memulai perjalanannya menuju masjidil Aqso (palestina) dengan
berkendaraan Burouq ( sejenis kuda yang kecepatannya melebihi cahaya).
Sesampainya di Masjidil Aqso Nabi di sambut oleh para nabi dan rosul
untuk melaksanakan sholat berjamaah dan Nabi Muhammad Saw sebagai
imamnya. Hal ini merupakan suatu bentuk kehormatan bahwa derajat Nabi
Muhammad diatas kenabiaan lainnya.
Setelah melampaui Masjidil Aqsha, Nabi langsung diangkat naik sampai ke langit tujuh, lalu Sidratul Muntaha dan Baitul Ma’mur.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan, pada saat peristiwa Mi’raj, Nabi Muhammad SAW berada di Baitul Ma’mur, Allah SWT mewajibkannya beserta umat Islam yang dipimpinnya untuk mengerjakan shalat limapuluh kali sehari-semalam. Nabi Muhammad menerima begitu saja dan langsung bergegas.
Namun Nabi Musa AS memperingatkan, bahwa
umat Muhammad tidak akan sanggup dengan limapuluh waktu itu. ”Aku telah
belajar dari pengalaman umat manusia sebelum kamu. Aku pernah mengurusi
Bani Israil yang sangat rumit. Kembalilah kepada Tuhanmu dan mitalah
keringanan untuk umatmu.”
lalu Nabi Muhammad kembali menghadap Sang
Rabb, meminta keringanan dan ternyata dikabulkan. Tidak lagi lipapuluh
waktu, tapi sepuluh waktu saja. Nabi Muhammad pun bergegas. Namun Nabi
Musa tetap tidak yakin umat Muhammad mampu melakukan shalat sepuluh
waktu itu. ”Mintalah lagi keringanan.” Nabi kembali dan akhirnya
memeroleh keringanan, menjadi hanya lima waktu saja.
Sebenarnya Nabi Musa masih berkeberatan
dengan lima waktu itu dan menyuruh Nabi Muhammad untuk kembali meminta
keringanan. Namun Nabi Muhammad tidak berani. “Aku sudah meminta
keringanan kepada Tuhanku, sampai aku malu. Kini aku sudah ridha dan
pasrah.”
Nabi Muhammad memang mengakui bahwa
pendapat Nabi Musa AS itu benar adanya. Lima kali shalat sehari semalam
itu masih memberatkan. Namun lima waktu itu bukankah sudah merupakan
bentuk keringanan?!
Peristiwa isra’ dan mi’raj diabadikan
oleh Al-Qur’an dalam surah Al-Isra’. Bahkan peristiwa inilah yang
mengawali surah ini.sebagaimana Firman Alloh “
“Maha
Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari
Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi
sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (Al-Isra’: 1).
Sudut pandang tentang isra’ dan mi’raj
memang bisa beragam; dari kacamata akidah, isra mi’raj mengajarkan
tentang kekuasaan Allah swt. yang tidak terhingga.
Dari sudut pandang sains, mengajarkan bagaimana dunia keilmuan masih menyisakan teori ilmiah yang belum terkuak.
Dari sudut pandang Ahlak , peristiwa ini
mengajarkan bagaimana adab dan akhlak seorang hamba kepada Khaliqnya.
Sungguh beragamnya sudut pandang ini menunjukkan keagungan peristiwa
yang hanya sekali terjadi sepanjang kehidupan manusia, dan hanya terjadi
kepada seorang insan pilihan, Rasulullah saw.
Sayyid Quthb menafsirkan ayat pertama
dari surah Al-Isra ini dengan menyebutkan bahwa ungkapan tasbih yang
mengawali peristiwa ini menujukkan keagungannya, karena tasbih diucapkan
manakala menyaksikan atau melihat sesuatu yang luar bisa yang hanya
mampu dilakukan oleh Dzat yang Maha Kuasa. Sedangkan lafadz “bi’abdihi”
adalah untuk mengingatkan status manusia (Rasulullah) dengan
anugerahnya yang bisa mencapai maqam tertinggi sidratul muntaha, agar ia
tetap sadar akan kedudukanya sebagai manusia meskipun dengan
penghargaan dan kedudukan yang tertinggi sekalipun yang tidak akan
pernah dicapai oleh seluruh manusia sampai hari kiamat.
No comments:
Post a Comment